Dan
fakta sejarah memberi bukti, sejak zaman Rasulullah saw. hingga kini,
umat Islam secara turun temurun mengamalkan anjuran Rasulullah ini.
Alhamdulillah. Tapi sayang, dalam pelaksanaannya terdapat perbedaan di
beberapa hal yang kadang mengganggu ikatan ukhuwah di kalangan umat.
Seharusnya itu tak boleh terjadi jika umat tahu sejarah disyariatkannya
shalat tarawih.
Pada awalnya shalat tarawih dilaksanakan Nabi saw.
dengan sebagian sahabat secara berjamaah di Masjid Nabawi. Namun
setelah berjalan tiga malam, Nabi membiarkan para sahabat melakukan
tarawih secara sendiri-sendiri. Hingga dikemudian hari, ketika menjadi
Khalifah, Umar bin Khattab menyaksikan adanya fenomena shalat tarawih
terpencar-pencar di dalam Masjid Nabawi. Terbersit di benak Umar untuk
menyatukannya.Umar memerintahkan Ubay bin Kaab untuk memimpin para
sahabat melaksanakan shalat tarawih secara berjamaah. ‘Aisyah
menceritakan kisah ini seperti yang diriwayatkan oleh Bukhari dan
Muslim. Untuk selengkapnya silahkan lihat Al-Lu’lu War Marjan: 436. berdasarkan riwayat itulah kemudian para ulama sepakat menetapkan bahwa shalat tarawih secara berjamaah adalah sunnah.
Bahkan,
para wanita pun dibolehkan ikut berjamaah di masjid, padahal biasanya
mereka dianjurkan untuk melaksanakan shalat wajib di rumah
masing-masing. Tentu saja ada syarat: harus memperhatikan etika ketika
di luar rumah. Yang pasti, jika tidak ke masjid ia tidak berkesempatan
atau tidak melaksanakan shalat tarawih berjamaah, maka kepergiannya ke
masjid tentu akan memperoleh kebaikan yang banyak.
Jumlah Rakaat
Berapa
rakaat shalat tarawih para sahabat yang diimami oleh Ubay bin Kaab?
Hadits tentang kisah itu yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari tidak
menjelaskan hal ini. Begitu juga hadits yang diriwayatkan oleh Aisyah.
Hanya menyebut Rasulullah saw. shalat tarawih berjamaah bersama para
sahabat selama tiga malam. Berapa rakaatnya, tidak dijelaskan. Hanya
ditegaskan bahwa tidak ada perbedaan jumlah rakaat shalat malam yang
dilakukan Rasulullah di bulan Ramadhan maupun di luar Ramadhan. Jadi,
hadits ini konteksnya lebih kepada shalat malam secara umum. Maka tak
heran jika para ulama menjadikan hadits ini sebagai dalil untuk shalat
malam secara umum. Misalnya, Iman Bukhari memasukkan hadits ini ke dalam
Bab Shalat Tahajjud. Iman Malik di Bab Shalat Witir Nabi saw. (Lihat Fathul Bari 4/250 dan Muwattha’ 141).
Inilah
yang kemudian memunculkan perbedaan jumlah rakaat. Ada yang menyebut
11, 13, 21, 23, 36, bahkan 39. Ada yang berpegang pada hadits ‘Aisyah
dalam Fathul Bari, “Nabi tidak pernah melakuka shalat malam lebih dari
11 rakaat baik di bulan Ramadhan maupun di luar Ramadhan.”
Sebagian berpegang pada riwayat bahwa Umar bin Khattab –seperti yang tertera di Muwattha’
Imam Malik—menyuruh Ubay bin Kaab dan Tamim Ad-Dari untuk melaksanakan
shalat tarawih 11 rakaat dengan rakaat-rakaat yang panjang. Namun dalam
riwayat Yazid bin Ar-Rumman dikabarkan jumlah rakaat shalat tarawih yang
dilaksanakan di zaman Umar adalah 23 rakaat.
Dalam kitab Fiqh Sunnah
karya Sayyid Sabiq, Imam At-Tirmidzi menyatakan bahwa Umar, Ali, dan
sahabat lainnya melaksanakan shalat tarawih 20 rakaat selain witir.
Pendapat ini didukung Imam At-Tsauri, Imam Ibnu Mubarak, dan Imam
Asy-Syafi’i.
Di Fathul Bari ditulis bahwa di masa Umar
bin Abdul Aziz, kaum muslimin shalat tarawih hingga 36 rakaat ditambah
witir 3 rakaat. Imam Malik berkata bahwa hal itu telah lama
dilaksanakan.
Masih di Fathul Bari, Imam Syafi’i dalam
riwayat Az-Za’farani mengatakan bahwa ia sempat menyaksikan umat Islam
melaksanakan shalat tarawih di Madinah dengan 39 rakaat dan di Makkah 33
rakaat. Menurut Imam Syafi’i, jumlah rakaat shalat tarawih memang
memiliki kelonggaran.
Dari keterangan di atas, jelas akar
persoalan shalat tarawih bukan pada jumlah rakaat. Tapi, pada kualitas
rakaat yang akan dikerjakan. Ibnu Hajar berkata, “Perbedaan yang terjadi
dalam jumlah rakaat tarawih mucul dikarenakan panjang dan pendeknya
rakaat yang didirikan. Jika dalam mendirikannya dengan rakaat-rakaat
yang panjang, maka berakibat pada sedikitnya jumlah rakaat; dan demikian
sebaliknya.”
Imam Syafi’i berkata, “Jika shalatnya panjang dan
jumlah rakaatnya sedikit itu baik menurutku. Dan jika shalatnya pendek,
jumlah rakaatnya banyak itu juga baik menurutku, sekalipun aku lebih
senang pada yang pertama.” Selanjutnya beliau mengatakan bahwa orang
yang menjalankan tarawih 8 rakaat dengan 3 witir dia telah mencontoh
Rasulullah, sedangkan yang menjalankan tarawih 23 rakaat mereka telah
mencontoh Umar, generasi sahabat dan tabi’in. Bahkan, menurut Imam
Malik, hal itu telah berjala lebih dari ratusan tahun.
Menurut
Imam Ahmad, tidak ada pembatasan yang signifikan dalam jumlah rakaat
tarawih, melainkan tergantung panjang dan pendeknya rakaat yang
didirikan. Imam Az-Zarqani mengkutip pendapat Ibnu Hibban bahwa tarawih
pada mulanya 11 rakaat dengan rakaat yang sangat panjang, kemudian
bergeser menjadi 20 rakaat tanpa witir setelah melihat adanya fenomena
keberatan umat dalam melaksanakannya. Bahkan kemudian dengan alasan yang
sama bergeser menjadi 36 rakaat tanpa witir (lihat Hasyiyah Fiqh Sunnah: 1/195)
Jadi,
tidak ada alasan sebenarnya bagi kita untuk memperselisihkan jumlah
rakaat. Semua sudah selesai sejak zaman sahabat. Apalagi perpecahan
adalah tercela dan persatuan umat wajib dibina. Isu besar dalam
pelaksanaan shalat tarawih adalah kualitas shalatnya. Apakah benar-benar
kita bisa memanfaatkan shalat tarawih menjadi media yang menghubungkan
kita dengan Allah hingga ke derajat ihsan?
Cara Melaksanakan Tarawih
Hadits
Bukhari yang diriwayatkan Aisyah menjelaskan cara Rasulullah saw.
melaksanakan shalat malam adalah dengan tiga salam. Jadi, dimulai dengan
4 rakaat yang sangat panjang lalu ditambah 4 rakaat yang panjang lagi
kemudian disusul 3 rakaat sebagai witir (penutup).
Boleh juga
dilakukan dengan dua rakaat dua rakaat dan ditutup satu rakaat. Ini
berdasarkan cerita Ibnu Umar bahwa ada sahabat bertanya kepada
Rasulullah saw. tentang cara Rasulullah saw. mendirikan shalat malam.
Rasulullah saw. menjawab, “Shalat malam didirikan dua rakaat dua rakaat,
jika ia khawatir akan tibanya waktu subuh maka hendaknya menutup dengan
satu rakaat (muttafaq alaih, lihat Al-Lu’lu War Marjan: 432). Rasulullah saw. sendiri juga melakukan cara ini (lihat Syarh Shahih Muslim 6/46-47 dan Muwattha’: 143-144).
Dari
data-data di atas, Ibnu Hajar menyimpulkan bahwa Rasulullah saw. kadang
melakukan witir dengan satu rakaat dan kadang tiga rakaat.
Jadi, sangat tidak pantas jika perbedaan jumlah rakaat shalat tarawih menjadi isu yang pemecah persatuan umat.
Sumber : http://www.dakwatuna.com
0 komentar:
Posting Komentar
Don't forget to comment... ^ _ ^